Dodi Prasetya Azhari, SH
Dalam konteks Negara Hukum, HAM dan Demokrasi, demonstrasi atau unjuk rasa menjadi salah satu indikator kemajuan demokratisasi di suatu negara. Bilamana demonstrasi/unjuk rasa dihalang-halangi, dan justru direspon secara represif oleh aparat penegak hukum, hal tersebut akan menurunkan citra kualitas demokrasi negeri ini di mata publik dunia internasional.
Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin tegas dalam Konstitusi Pasal 28 E UUD 1945, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi lewat Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, Pasal 25 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum;
Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan cara:
- unjuk rasa atau demonstrasi;
- pawai;
- rapat umum; dan atau
- mimbar bebas.
Sesuai dengan Pasal 13 UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pada dasarnya aktivitas unjuk rasa atau demonstrasi tidak perlu mendapatkan izin kepolisian, namun partisipan unjuk rasa cukup menyampaikan surat pemberitahuan tertulis kepada kepolisian. Setelah kepolisian menerima surat pemberitahuan, kepolisian wajib untuk segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan. Untuk selanjutnya kepolisian segera berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum, dan juga berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat dan mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi. dan rute.
Dengan demikian, sesuai mandat undang-undang tersebut, kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk mengijinkan atau tidak hak penyampaian pendapat di muka umum, namun berwenang dan bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap peserta penyampaian pendapat di muka umum dan menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku,
Namun, dalam pelaksanaan demonstrasi tetap harus ada dalam koridor batasan-batasan. Bagaimana kewenangan aparat penegak hukum untuk menanggapi aksi demonstrasi?
Penting untuk diketahui bahwa kegiatan demonstrasi yang berlangsung anarkis dilarang keberlangsungannya. Pasal 23 huruf e Perkap 7/2012 menyatakan bahwa kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran apabila berlangsung anarkis, yang disertai dengan tindak pidana atau kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dan kejahatan terhadap penguasa umum.
Lalu, berdasarkan Pasal 1 angka 8 Perkap 7/2012 anarkis adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan barang dan/atau jiwa, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain.
Dalam Pasal 13 UU 2/2002 dijelaskan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah:
- memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
- menegakkan hukum; dan
- memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Polri bertugas, salah satunya, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Demonstrasi bukanlah kejahatan, karena demonstrasi dijamin Undang-Undang dan tidak melanggar HAM. Polisi jangan menempatkan demonstran sebagai pelaku kejahatan selama demonstrasi di lakukan dengan tertib dan tidak berlangsung anarkis.